Senin, 19 Oktober 2009

KRISIS PANGAN DAN KEBANGKITAN PERTANIAN


Ironis, ketika sebagian besar petani menjual gabahnya di bawah HPP Rp 2000 per kilogram pada bulan Maret, harga gabah pada bulan April mulai merambat naik melebihi HPP dan harga beras di pasar dunia menembus angka dramatis, 1.000 dollar AS per ton.

Ironis, ketika dinyatakan pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen, nilai tukar petani—yang merupakan salah satu indikator kesejahteraan petani—yang menyusun 48 persen penduduk justru menurun pada awal tahun ini. Ironis, ketika pemerintah menyatakan surplus beras, konsumen dan petani harus membeli beras dengan harga yang semakin tinggi.

Ironis, ketika kita mendengungkan pembelaan petani, belasan petani di Kediri ditangkap polisi, diadili, dan beberapa dihukum 6 bulan dengan masa percobaan 2 bulan karena kreativitasnya membuat benih jagung hibrida dan mengedarkannya. Lebih ironis ketika melihat para pejabat menangis ketika menonton ”kisah fiktif” Ayat-Ayat Cinta, tetapi tidak menangis melihat ”kisah nyata” keterpurukan petani kita.

Bila demikian, masihkan relevan kita membicarakan ”Kebangkitan Petani Indonesia” dalam nuansa menyongsong Hari Kebangkitan Nasional? Mengenai ini ada satu contoh nyata di alam.

Di dalam tanah terdapat satu kelompok jasad renik yang namanya aktinomisetes. Kelompok ini berada dalam strata paling bawah dan menopang kehidupan jasad renik lainnya karena kemampuannya mengubah bahan yang tidak dapat dimanfaatkan menjadi pangan. Kelompok aktinomisetes memiliki kemampuan bersaing yang sangat rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Ketika sumber daya dan kapital melimpah kelompok lain akan berebut, tumbuh sangat pesat, menjadi kaya, dan meninggalkan aktinomisetes jauh di belakang.

Uniknya, aktinomisetes merupakan bakteri yang paling cerdas dengan ukuran otak (genom atau DNA) dua kali lebih besar dibandingkan dengan bakteri lainnya.

Bila berbagai krisis menimpa tanah dalam ujud ketersediaan pangan dan unsur hara lain sangat rendah, maka tidak ada kelompok selain aktinomisetes yang bisa bertahan untuk menyelamatkan komunitas dari kondisi yang sulit tersebut.

Kebangkitan aktinomisetes pada tahap awal akan merugikan jasad renik lainnya. Dalam kondisi krisis beberapa gen di dalam genom aktinomisetes akan terpantik yang menyebabkan aktinomisetes menghasilkan senyawa, misalnya antibiotik dan enzim yang akan menghancurkan jasad renik lain yang hidup berdekatan dengannya.

Mekanisme ini dilakukan untuk membatasi akses pangan dan sumber daya lain yang jumlahnya sudah sangat terbatas. Aktinomisetes kemudian bangkit dan tumbuh, mengubah berbagai sumber daya menjadi pangan tersedia dan komunitas terselamatkan dari krisis.

Kebangkitan petani

Lalu bagaimana dengan petani dan sistem pangan kita? Beberapa analisis menyatakan bahwa krisis pangan 2008 merupakan produk akhir dari kebijakan nasional dan internasional yang destruktif selama bertahun-tahun yang memarjinalkan produksi pangan domestik dan petani kecil. Liberalisasi perdagangan merupakan genderang perang melawan petani kecil.

Petani terpaksa menghasilkan produk pertanian yang bisa diperdagangkan di dunia internasional (cash crops), serta menurunkan produksi pangan karena harus bersaing dengan produk pangan impor yang harganya jauh lebih murah.

Produksi kedelai Indonesia hancur karena biaya produksi jauh lebih mahal dibandingkan dengan kedelai impor yang disubsidi sangat besar oleh negara eksportir. Hal yang sama dialami oleh Meksiko yang beralih dari negara eksportir jagung menjadi importir, kehancuran Brasil dan beberapa negara di Afrika dalam komoditas kapas dan lain-lain. Perlahan-lahan komoditas pangan dikuasai oleh petani industri di negara maju dan perusahaan multinasional. Pada saat itulah harga pangan melesat drastis ke atas. Saat ini perdagangan komoditas pangan dunia dikuasai hanya oleh 5 perusahaan multinasional.

Di sisi lain, lembaga-lembaga donor internasional kurang tertarik membantu upaya peningkatan produksi pangan. Dana kerja sama pembangunan dari negara maju untuk negara berkembang naik dari 20 miliar dollar AS pada tahun 1980 menjadi 100 miliar dollar AS pada tahun 2007. Pada saat yang bersamaan dana untuk pertanian menurun dari 17 miliar dollar AS ke hanya 3 miliar dollar AS. Sebagian besar dana tersebut tidak mengalir ke petani kecil yang memproduksi pangan (La Via Campesina, 1 Mei 2008). IMF menekan negara berkembang untuk meliberalisasi pasar pangan mereka dan menghilangkan peran pengendalian pangan oleh negara karena dianggap terlalu mahal.

Di Indonesia, Bulog harus diprivatisasi pada tahun 1998 karena melanggar prinsip perdagangan bebas serta pajak impor harus diturunkan. Upaya berbagai donor internasional tersebut dikritik keras oleh Joseph Stiglitz, pemenang hadiah Nobel Ekonomi, pada saat krisis moneter melanda Asia.

Sebagaimana aktinomisetes di ekosistem tanah yang mengalami krisis, gerakan petani kecil diperkirakan akan bangkit di seluruh dunia. Pada 17 April yang lalu terjadi mobilisasi, protes dan demonstrasi ratusan ribu petani di 25 negara di dunia termasuk Indonesia karena suara mereka yang menyusun hampir setengah penduduk dunia nyaris tak didengar dan termajinalisasi.

Banyak organisasi dan kelompok tani di Indonesia menganjurkan anggotanya untuk menahan gabah dan menghidupkan lagi lumbung-lumbung pangan, yang akibatnya akan menurunkan stok pangan di pasar dan mendongkrak harga lebih ke atas.

Kedaulatan pangan menjadi pemantik yang menghidupkan gen kebangkitan petani. Kedaulatan pangan menjamin petani, dan bukan perusahaan multinasional, untuk mengendalikan apa yang mereka tanam dan bagaimana cara mereka tanam. Perubahan paradigma dari ketahanan pangan ke kedaulatan pangan berimplikasi luas karena berdampak ke perubahan arah riset pertanian, perubahan undang-undang, kebijakan dan politik, serta perubahan sistem perdagangan.

Di bidang riset pertanian diperlukan perubahan radikal dari pola top-down dan properusahaan menjadi pendekatan riset lokal.

Perkawinan antara ilmu pertanian modern dan pengetahuan pertanian tradisional perlu dikembangkan untuk menggalakkan sistem pertanian ekologis dan menurunkan ketergantungan terhadap input luar yang mahal.

Sistem pemerintahan yang baru harus mampu menjamin bahwa dampak negatif perdagangan internasional dapat dicegah, mewujudnyatakan reformasi agraria serta menjamin akses petani ke sumber daya vital. Pemberian prioritas terhadap pasar lokal dan jaminan petani mendapatkan harga yang pantas untuk menutupi ongkos produksi merupakan hal penting lainnya. Jaringan sistem pangan lokal dihidupkan karena akan menurunkan jarak antara petani dan konsumen serta meningkatkan pengendalian masyarakat terhadap pangan.

Di masa depan tidak perlu lagi terdengar petani diputuskan bersalah oleh pengadilan karena melanggar Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman dan Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman seperti terjadi di Kediri. Kita tidak perlu berkelit dengan memunculkan harapan semu ”surplus pangan”. Krisis pangan adalah suatu keniscayaan. Dorong kebangkitan petani meskipun pada awalnya akan berdampak menyakitkan, tetapi pada akhirnya merekalah yang akan menyelamatkan kita.

MASA DEPAN PERTANIAN DALAM GENERASI MUDA


Tantangan berat bagi Perguruan tinggi bidang pertanian (agro komplek) saat ini adalah semakin kurang diminatinya bidang pertanian (pertanian secara umum) oleh kalangan generasi muda. Pada tahun 2007, dari 470 program studi yang daya tampungnya tak tepenuhi, sebanyak 213 bidang studi (45,32 persen) merupakan program studi yang terkait dengan bidang pertanian. Pada seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) tahun 2008 yang lalu, terdapat 2.894 kursi kosong pada program studi pertanian dan peternakan di 47 perguruan tinggi negeri.

Fakta menurunnya minat lulusan SMA memilih bidang pertanian ini tentunya akan berpengaruh pada masa depan bangsa, sehingga harus segera dicarikan solusinya. Menurut hemat saya ada beberapa penyebabnya, antara lain :

  1. Penguasaan ilmu mahasiswa S-1 pertanian dirasakan terlalu spesifik, bersifat monodisiplin, dan lebih berorientasi pada aspek pendalaman ilmu (teoritis saja),
  2. Banyak kebijakan pemerintah yang tidak pro-petani (petani tidak difasilitasi kebutuhan sarana produksinya, harga jual hasil pertanian dipermainkan tengkulak), sehingga tingkat kesejahteraan petani sangat rendah , berusaha di bidang pertanian dinilai tidak menjanjikan dan tidak menarik lagi bagi generasi muda ,
  3. Rasa nasionalisme atau kebanggaan terhadap potensi lokal sangat rendah, terbukti banyak masyarakat yang lebih bangga mengonsumsi hasil pertanian import dari mancanegara daripada produksi dalam negeri, padahal potensi SDA lokal kita sesungguhnya tidak kalah hebatnya , dan
  4. Masih sangat rendahnya budaya menciptakan lapangan kerja sendiri (wirausaha mandiri) dan orientasi generasi muda untuk mencari pekerjaan setelah lulus masih sangat tinggi, karena keberhasilan menjadi pegawai (PNS) masih dianggap sebagai ukuran kesuksesan di masyarakat dibandingkan sebagai wirausahawan.

Melihat cukup kompleksnya permasalahan tersebut, maka untuk membenahinya dibutuhkan perhatian, kepedulian, tekad yang kuat dan partisipasi semua pihak, yaitu lembaga pendidikan (dari TK, SD, SMP, SMA/K, dan perguruan tinggi), Pemerintah (Pusat dan Daerah), dan Masyarakat (termasuk pelaku bisnis / tengkulak dan sejenisnya). Image menjadi petani modern yang sukses, dibanggakan, dan merupakan pekerjaan mulia haruslah dibangun sejak dini melalui pendidikan. Demikian juga rasa nasionalisme bangga terhadap potensi lokal bangsa sendiri harus dibangkitkan. Di era otonomi daerah saat ini, apabila pemerintah pusat yang mestinya paling bertanggungjawab terhadap kebutuhan saprodi petani ternyata tidak peduli, maka sudah seharusnya pemerintah daerah memback-up mengambil kendali untuk membantu petani. Demikian juga para pelaku bisnis, mestinya juga ikut bertanggungjawab membantu permasalahan petani, bukannya memeras keringat petani dengan membeli hasil panen mereka semena-mena.